Kelas Jago Jualan Online
Minang Cyber Academy

Konversi IAIN Imam Bonjol Padang jadi UIN

Oleh : Dr. H. Eka Putra Wirman, MA
Sejak beberapa waktu terakhir, hangat dibicarakan tentang keinginan IAIN Imam Bonjol Padang mengkon­versi diri menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) sebagaimana saudara tuanya UIN Jakarta, UIN Yogya dan UIN Malang. Dengan mengkonversi diri diharapkan pamor dan peran IAIN Imam Bonjol lebih menonjol dan maksimal. Konversi juga bertujuan meningkatkan semangat keilmuan, daya saing, manajemen, kualitas dan kuantitas, pelayanan, kontribusi sosial, dan tentu keluasan pengelolaan ke­uang­an. 

Namun ide tersebut tidak bisa dikatakan berjalan mulus karena gagasan tersebut belum tersosialisasi dengan baik. Penolakan datang silih berganti dari berbagai elemen masya­ra­kat, baik secara internal maupun eksternal, mulai dari pucuk pimpinan formal, adat, agama dan tokoh-tokoh penting Sumatera Barat. Sementara itu, upaya dan gerak perangkat IAIN Imam Bonjol Padang untuk mengkonversi diri secara “transparan” juga tetap dilakukan. Apa sesungguhnya yang menjadi faktor penolakan konversi tersebut dari berbagai pihak di Suma­tera Barat?

Sejauh yang bisa diamati, bahwa kata kunci dari penolakan konversi adalah, kekhawatiran apabila kebera­daan UIN akan membuat ilmu-ilmu agama yang selama ini menjadi core IAIN akan mati secara perlahan-lahan; dan kemudian akan muncul penyakit SEPILIS (sekulerisme, pluralisme dan liberalisme) yang membahayakan sendi kehidupan keislaman di ranah Minangkabau.

Maka pertanyaan besarnya adalah, benarkah status UIN akan memba­hayakan posisi ilmu-ilmu agama? Mungkinkah ilmu-ilmu agama kehi­lang­an peminat dan akhirnya hilang di rumahnya sendiri? Jika mencermati paradigma ilmu yang menjadi dasar pengembangan IAIN menjadi UIN terdahulu, seperti paradigma-paradig­ma: Jaring Laba-laba, Pohon Ilmu dan Roda Ilmu, maka ketakutan itu me­mang berpeluang besar menjadi kenya­taan.

Paradigma keilmuan yang di­ba­ngun di Jakarta, Yogya dan Malang sepintas lalu memang genuin, tetapi tidak happy ending bagi ilmu-ilmu agama. Dalam skema jaring laba-laba yang digagas oleh intelektul kawakan Amin Abdullah di Yogya, ilmu-ilmu diposisikan pada level dan lingkar tertentu. Lingkar pertama dari jaring laba-laba ditempati oleh al-Quran dan Hadis; diikuti lingkar kedua ditempati oleh ilmu-ilmu agama seperti tafsir, akidah, syariah, akhlak dan tasauf; kemudian lingkar ketiga diisi oleh ilmu-ilmu seperti Science And Technology, Religious Pluralism, International Law, Enveronmental Issues, Gender Is­sues, Cultural Studies, Politic/Civil So­ciety, Human Rights, Economic. Ling­kar terakhir ini disebut juga dengan ilmu-ilmu kontemporer yang dianggap sebagai simbol peradaban modern.

Dalam penjelasannya, Amin Abdul­lah mengatakan bahwa al-Quran, Ha­dis dan ilmu-ilmu agama menjadi inspirator, motivator dan spirit bagi sains yang terus berkembang. Model ini disebutnya sebagai bentuk inter-relasi dan inter-koneksi antar berbagai ilmu terutama ilmu agama dan ilmu umum.

Hampir sama dengan di atas, para­digma Pohon Ilmu yang digagas oleh cendikiawan muslim papan atas Imam Suprayogo dari UIN Malang juga memberikan posisi-posisi tertentu kepada ilmu-ilmu sebagai berikut: pada posisi akar ditempatkan al-Quran dan Hadis; pada posisi batang pohon diisi oleh ilmu-ilmu agama; dan pada posisi dahan dan buah ditempati oleh ilmu-ilmu kontemporer dari ilmu-ilmu kealaman dan sosial. Sepintas langkah Imam Suprayogo hanya sebatas mem­bagi kurikulum yang telah berlaku di perguruan tinggi agama Islam selama ini dan ditempatkan pada posisi akar, batang dan buah pohon ilmu yang digagasnya.

Dengan skema jaring laba-laba dan pohon ilmu seperti ini, apa yang dikhawatirkan sebagian kalangan terhadap kematian ilmu-ilmu agama memang bukan sekadar ancaman. Hal itu disebabkan ilmu-ilmu agama tidak menjadi prioritas; tidak menjadi buah yang dinikmati; tidak layak dipajang di etalase peradaban terkini; hanya seka­dar penyambung lidah munculnya il­mu-ilmu kontemporer. Istilah “al-Quran dan ilmu agama sebagai ins­pi­rasi dan motivator bagi perkembangan ilmu” atau “wahyu memandu ilmu” kelihatannya saja yang indah, tetapi hanya sebagai nyanyian yang me-ninabobok-kan. Di satu sisi al-Quran berperan memberi spirit tetapi di sisi lain ilmu-ilmu agama stagnan pada posisi awalnya.

Andaipun ilmu-ilmu agama menja­di inspirasi, motivasi dan spirit bagi ilmu-ilmu lain, lalu bagaimana dengan eksistensinya sendiri sebagai satu rumpun ilmu yang besar? Kenapa ilmu-ilmu agama tidak mendapat peluang untuk dikembangkan sehingga mela­hir­kan para expertis dan ahli di bidang tersebut? Apakah ilmu-ilmu agama hanya layak menjadi penghuni bagian akar dan batang dari visualisasi sebuah pohon, atau hanya berkutat pada lingkar pertama dan kedua dari belasan lingkar keilmuan yang akan selalu berkembang?

Ilmu-ilmu yang tidak “diproyek­sikan” untuk berkembang sudah pasti tidak akan melahirkan para ahli atau para ulama yang mumpuni. Ketidak hadiran para ulama dalam bidang agama terlihat jelas pada jenis ilmu-ilmu yang berada pada lingkar terakhir konsep jaring laba-laba dan pada ranting serta buah pada konsep pohon ilmu.

Gairah mengembangkan lembaga agar memiliki kharisma, magnet dan pendanaan yang kuat memang mendo­rong para intelektual menemukan solusi yang tepat. Tetapi yang dibu­tuhkan tentu bukan solusi instan yang hanya dinikmati untuk 10-15 tahun dan mengorbankan identitas diri sendiri. Peradaban Islam membutuhkan para saintis yang qurani, di samping para ulama sebagai pewaris para nabi dalam urusan agama, moral dan spiritualitas.

Jika paradigma keilmuan yang dijadikan dasar pengembangan UIN yang ada sekarang tidak mampu me­nga­komodir keinginan ideal tanpa diskriminasi terhadap ilmu-ilmu, maka diperlukan paradigma alternatif yang dapat menutupi kekurangan tersebut. Khazanah budaya Minangkabau sebe­narnya menyimpan jawaban terhadap kepincangan yang terjadi dalam para­digma keilmuan di Indonesia. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Riki Saputra, MA., dkk., diungkapkan bahwa konsep keilmuan Minangkabau dapat dimunculkan sebagai solusi alternatif terhadap persoalan paradig­matik tersebut.

Minangkabau dengan filosofi alam takambang jadi guru, menginspirasi munculnya paradigma ilmu melalui konsep kepemimpinan Tali Tigo Sapi­lin, Tungku Tigo Sajarangan (Ninik Ma­mak, Alim Ulama dan Cadiak Pan­dai). Sebuah konsep yang berakar dari kearifan lokal Minangkabau yang memandang kehidupan secara holistik. Kepimimpinan Tali Tigo Sapilin itu sendiri merupakan budaya adiluhung yang dirumuskan oleh nenek moyang Minangkabau. Sistem ini merupakan perenungan yang dalam terhadap trilogi kehidupan yaitu Allah, alam dan manusia. Ketiga unsur kepemimpinan sosial di Minangkabau mewakili trilogi kehidupan tadi yaitu Allah, alam dan manusia. Ninik Mamak merupakan representasi dari kehidupan sosial manusia; Ulama sebagai penyampai risalah Allah; dan Cadiak-Pandai sebagai ilmuan yang mengelola alam dan seisinya. Secara filosofis-religius tidak mungkin dibayangkan ada Allah tanpa ada alam dan manusia, atau sebaliknya ada alam dan manusia tanpa ada Allah. Jika dipotret dari tiga ranah ilmu (Filsafat Ilmu), maka masing-masing jenis orang tersebut indepen­den secara ontologis, namun integratif secara epistemologis dan aksiologis.

Sistem kepemimpinan yang berdiri di atas trilogi kehidupan ini yang kemudian disentesakan dengan klasi­fikasi ilmu Imam al-Ghazali (ilmu ketuhanan, ilmu kealaman, ilmu logika, ilmu etika dan politik) sehingga meng­in­spirasi sebuah paradigma keilmuan Minangkabau yang disebut dengan paradigma keilmuan Tali Tigo Sapilin. Konsep keilmuan Minangkabau me­nga­komodir trilogi kehidupan yaitu: Ilmu Ketuhanan (Revealed Sciences/al-‘Ulum al-Uluhiyyah); Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora (Human and Social Sciences/al-‘Ulum al-Insaniah wa al-Ijtima’iyyah); dan Ilmu-ilmu Kealaman (Natural Sciences/al’Ulum al-Thabi’iyyah).

Secara teoritis konsep keilmuan Minangkabau bertugas mengawal dan menjaga eksistensi ilmu sebagaimana adanya. Stakeholder sebagai pengguna produk perlu mendapatkan perhatian, tetapi tidak menjadikannya sebagai satu-satunya barometer pengem­bang­an lembaga (baca: market oriented). Stakeholder atau pasar hanya salah satu aspek yang perlu diperhitungkan. Maka tugas seluruh komponen terkait bertanggungjawab membuat trilogi keilmuan tetap eksis dan menemukan pasarnya. Dalam konsep kepemim­pinan Minangkabau tidak mungkin salah satu unsur (Ninik mamak-adat) bisa berlapang dada jika unsur lain (Ulama-agama dan Cadiak Pandai-alam) stagnan apalagi tersingkir dalam kehidupan. Kalau hal ini terjadi maka ibaratnya Minangkabau sudah kehi­lang­an eksistensi.

Dalam posisi semua rumpun ilmu sejajar dan seimbang sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan seba­gaimana yang dianut oleh paradigma keilmuan Minangkabau, maka kebera­daan ilmu-ilmu agama dalam institusi apapun tidaklah menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan (akan mati). Oleh karenanya langkah awal yang perlu didudukkan sebelum konversi adalah menentukan paradigma apa yang menjadi dasar dari sebuah lembaga, karena paradigma berarti landasan berpikir dan bertindak dalam berbagai aspek lembaga tersebut.

Paradigma keilmuan ibarat pondasi (Minangkabau: sandi atau tapak) yang menentukan lurus atau miringnya sebuah bangunan keilmuan. Paradig­ma yang tidak lurus akan membawa konsekwensi yang mahal. Kekeliruan dalam menentukan suatu paradigma akan mengantarkan kepada kehan­curan di kemudian hari. Oleh karena itu, jika suatu saat IAIN Imam Bonjol dengan bekal paradigma keilmuan Tali Tigo Sapilin Minangkabau dikonversi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol, siapa takut?

Sumber : http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=3830

Agama Islam
Posting Komentar
komentar teratas
Terbaru dulu
Daftar Isi
Tautan berhasil disalin.