Kelas Jago Jualan Online
Minang Cyber Academy

Basis Keilmuan Islam

PENDAHULUAN

Peradaban dan pemikiran Islam memang pernah jaya dan akan jaya kembali. Di masa keemasannya, ilmuwan Islam menguasai dunia lewat berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi. Nyaris tidak ada cabang ilmu yang tidak dikuasai, bahkan hingga ke teknologi militer sekalipun. Namun, kemudian umat Islam tertinggal dan mengalami kemunduran dan sampai saat sekarang masih belum mampu bangkit untuk jaya memperbaiki ketertinggalannya dari bangsa lain.

Abad kebangkitan Islam yang dicanangkan sejak awal masuknya abad ke 15 hijrah - tahun 1400 hijrah lalu- kini sudah berjalan selama 35 tahun, masih saja umat Islam yang drepresentatifkan oleh negara-negara yang nyata-nyata mendasarkan negaranya ada Islam, begitu juga negara yang mayoritas di didiami umat Islam, tetap berada dalam kesulitan dan ada yang tengah dirudung perpecahan. Beberapa negara Islam di Timur Tengah justru tengah menghadapi kesulitan besar menyelesaikan konflik dalam negeri mereka, yang berpotensi besar memundurkan peradaban. 

Jejak sejarah Islam yang terus bergerak patut dijadikan bahan analisis bagi sarjana Islam (scholar Islam), lebih lagi bila dicermati dari pemikiran Islam yang cendrung bergerak kearah yang sulit ditebak. Studi tentang pemikiran Islam yang secara akademik di perguruan tinggi Islam dikelompokkan pada tiga ranah yaitu ilmu kalam, filsafat dan tasawuf dalam realitasnya tidak banyak bergerak pada kajian solutif tetapi hanya sebatas historis, dan normatif. Revitalisasi meteri kajian, pendekatan studi pemikiran Islam dan relevansinya dengan kondisi kotemporer adalah pilihan tepat untuk menjadikan sarjana Islam lebih kompetibel dengan situasi dan tantangan masa depan.

PEMIKIRAN ISLAM TINGKAT PASCASARJANA

Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri – kini diwakili oleh institusi bernama UIN, IAIN, STAIN – dalam masa 40 tahun terakhir, khususnya sejak di bukanya pendidikan tingkat strata dua (S2) magister di era tahun 1980 lalu telah memainkan peran siginifikans dalam mendinamisasi pemikiran Islam di Indonesia. Harus diakui keberadaan Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dipimpin pertama kali oleh Harun Nasution sebagai kawah candra dimuka pembentukkan pemikir Islam adalah titik awal kebangkitan sarjana Islam di Indonesia.

Jika dirunut secara historis, umat Islam Indonesia sejak masa penjajahan Belanda telah memendam aspirasi sangat kuat untuk memiliki pendidikan tinggi, yang memungkinkan anak-anak santri untuk melanjutkan pendidikan mereka. Aspirasi ini mulai terwujud dengan pembentukan PTAIN di Yogyakarta dan ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) di Jakarta yang masing-masing kemudian menjadi IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sepanjang akhir 1950an. Selanjutnya, sejak awal 1960an, IAIN-IAIN lainnya berdiri di berbagai ibukota provinsi, sehingga sampai awal 2002 jumlahnya mencapai 14 IAIN di seluruh Indonesia. Dan, sejak 1998, fakultas-fakultas cabang IAIN yang terdapat di berbagai kota dan kabupaten dilepaskan dari IAIN induknya dan berubah menjadi STAIN, yang berjumlah 33 di seluruh Indonesia.[3]

Pada level srata satu (S.1) di lembaga perguruan tinggi Agama Islam tersebut berlangsung pengkajian pemikiran Islam yang terpisah antara teologi, filsafat dan tasawuf, karena ia masih bersifat pengantar. Sedangkan pada strata dua (S.2) magister pengkajian tentang pemikiran Islam di gabung dalam satu mata kuliah Sejarah Pemikiran Dalam Islam disingkat SPDI. Mata kuliah SPDI yang memuat materi kuliah lebih menekankan pada sisi sejarah ilmu kalam, filsafat dan tasawuf dalam perkembangnya dilakukan evalusia untuk difocuskan pada aspek Studi Pemikiran Islam yang lebih mendalam dan terkoneksi dengan perkembangan kotemporer.

Sejarah Pemikiran Dalam Islam yang menjadi mata kuliah komponen utama untuk semua konsentrasi dan pembidangan keilmuan sejak zamannya Harun Nasution di seluruh Program Pascasarjana di Indonesia telah memainkan peran penting bagi pembentukkan pemikiran sarjana Islam yang holistik. Alumni pascasarjana perguruan tinggi agama Islam Indonesia sampai era tahun 2010-an mendapatkan materi SPDI seperti yang diacukan Harun Nasution di tahun 1980 an. Adalah sebuah kemestian dan menjadi trade mark bagi Pascasarjana di Indonesia mata kuliah Sejarah Pemikiran Dalam Islam, baik disebabkan oleh apresiasi terhadap Harun Nasution, atau memang ketiadaan inovasi. 

Pembahasan sejarah pemikiran dalam Islam yang didiskusikan pada kelas pascasarjana selama lebih dari tiga dasa warsa – sejak tahun 1980 sampai tahun 2010 – jelas menimbulkan spirit dan semangat keilmuan yang kritis, dinamis dan menjadi modal menghadapi perkembangan pemikiran kotemporer. Kritik terhadap cara berfikir yang cendrung fatalis, dan pasif yang dipromosikan aliran Jabariyah dan apresiasi terhadap pemikiran dinamis, dan kreatif yang diperkenalkan aliran Qadariyah, adalah salah topik diskusi yang hangat. Begitu juga halnya dengan pembahasan aliran Mu’tazilah yang tingkat rasionalitasnya tinggi bila diperhadapkan dengan aliran As’ariyah yang kurang memberikan porsi pada rasional tetapi mengedepankan wahyu adalah diskusi yang cukup besar sumbangannya bagi pembentukan pemikiran sarjana Islam.

Peta konsep keilmuan yang dibangun oleh Harun Nasution dengan menempatkan sejarah pemikiran dalam Islam sebagai salah satu kunci pembuka kemajuan berfikir dalam perkembangannya mempelihatkan hasil yang mengembirakan. Magister, Doktor dan Profesor yang pada awal studi pascasarjana mendapatkan pola pembelajaran kritis, dinamis dan obyektif di kelas SPDI adalah contoh hidup untuk mengetahui efektifitas pembelajaran sejarah pemikiran dalam Islam dalam membentuk mentalitas sarjana Islam.

BASIS KEILMUAN SCHOLAR ISLAM

Mencermati perkembangan ke depan lewat kajian mendalam pada seminar pakar lalu kini beberapa Pascasarjana, satu di antaranya Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, melakukan reorentasi pada mata kuliah Sejarah Pemikiran Dalam Islam (SPDI) dengan lebih memperluas kawasan keilmuannya dan mendialogkan dengan perkembangan kotemporer, yang dirumuskan di bawah nomeklatur Studi Pemikiran Islam, (SPI). 

Mata kuliah studi pemikiran Islam dikatakan sebagai basis keilmuan Islam, dikarenakan lewat pengkajian kritis, radical, holistic dan dialogis calon sarjana Islam tingkat magister dipandu untuk secara cerdas melakukan eksplorasi tentang relevansi dan integrasi nilai Islam dengan realitas social yang terus berkembang. Kesiapan sarjana Islam menjawab perkembangan kotemporer dengan mengambil spirit pemikiran Islam sejak awal tentu akan menjadikan Islam tidak ketinggalan zaman dan selalu dapat memberikan roh pada setiap bentuk kemajuan yang dicapai. 

Kecepatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu dahsyat dipastikan akan ada benturan dengan nilai-nilai Islam. Menurut Toffler, revolusi industri mencapai puncaknya pada Perang Dunia II. Setelah Perang Dunia II, industri mulai digantikan dengan revolusi baru, yaitu teknologi tinggi (super teknologi). Gelombang Ketiga mulai di Amerika, Perancis dan Jepang. Negara-negara ini mulai terhuyung-huyung oleh benturan antara gelombang kedua dan gelombang ketiga. Industri ekonomi, politik, dan sosial ditinggalkan dan akan digantikan dengan institusi baru. Kita, kata Toffler adalah zaman yang sedang menghadapi perbenturan ini. Berbagai konflik akan terjadi dalam perbenturan itu dan amat sulit untuk memprediksi apa dan bagaimana gambaran dari hasil perbenturan antara dua Gelombang tersebut.[4]

Kendati prediksi tokoh futurolog ini tidak mesti tepat seratus persen, tetapi ada sesuatu yang tidak dapat dielakkkan bahwa abad atau melienium ketiga memang era teknologi tinggi karena kemajuan teknolog komputer, telekomunikasi, informasi dan bioteknologi akhir-akhir ini berkembang sangat cepat. Karena itu, dapat diprediksikan bahwa masa yang akan datang adalah abad penuh dengan perbenturan dan sekaligus harapan.

Dampak dari perkembangan itu adalah perbenturan nilai lama dengan nilai baru dan berubahnya tradisi lama. Contoh kecil, setelah diperkenalkan mesin cetak di Turki awal abad 20, para penulis buku (dengan tangan) memprotes dengan keras karena alasan ekonomi, yaitu kehilangan lapangan pekerjaan. Tenaga tangan mereka akan digantikan dengan tenaga mesin yang lebih capat dan murah. Untuk menolak kehadiran mesin cetak, ulama Turki, yang sebagian besar adalah penulis buku-buku agama mengeluarkan fatwa bahwa menggunakan mesin cetak hukumnya haram karena mesin itu buatan orang kafir. Sesuatu yang berasal dari orang kafir adalah najis, apalagi digunakan untuk mencetak Kitab Suci Al-Qur’an.

Akhir abad ke-20 juga ditandai dengan beberapa penemuan yang spektakuler. Dalam bidang bioteknologi, misalnya penemuan serum untuk sapi peternak yang mampu meningkatkan susu sapi dua kali lipat dari yang biasa. Maka, jumlah susu sapi akan bertambah, sehingga susu di pasaran melimpah dan akhirnya harga menjadi anjlok. Jadi, bagaimanapun, setiap perkembangan dan penemuan sains dan teknologi tetap mengalami benturan-benturan, baik dalam bidang agama maupun ekonomi. 

Menurut Harun Nasution, agama dan sains menghadapi persoalan yang cukup rumit ketika berhadapat degan situasi yang demikian. Pada satu sisi sains di Barat berkembang dengan pesatnya, tetapi yauh dari jiwa agama sehingga yang terjadi adalah sains yang sekuler. Pada sisi lain, di Timur yang masyarakatnya taat beribadah, tetapi mengidap lemah moral sehingga muncul bentuk “sekularisasi” juga dalam umat beragama. Karena itu, Harun Nasution memberikan sumbang saran untuk mengatasi persoalan tersebut. Pertama, menyesuaikan filsafat dan sains yang sekuler dengan ajaran dasar agama sehingga yang berkembang di dunia bukan filsafat dan sains yang sekuler, tetapi filsafat dan sains yang agamis. Kedua, mengutamakan pendidikan moral umat beragama, di samping pengajaran ibadat dan syariat, sehingga tercipatalah umat yang berakhlak mulia.[5]

Studi pemikiran Islam sebagai basis keilmuan sarjana Islam adalah sebagai upaya meletakkan dasar fundamental tentang esensi dan dialektika pemikiran mutakallimun, filosof dan sufi untuk didiskusikan dengan nilai-nilai baru yang dibawa oleh pemikiran lain. Umat Islam mestinya dapat mempertimbangkan kemajuan sebagai bentuk dari apresiasi pada hukum perubahan, walapun pada saat yang sama harus pula menjaga nilai-nilai keunggulan moral, peradaban dan syariat agamanya. Memagari Islam dari perusakan nilai-nilai baru dapat dilakukan melalui diskusi antara nilai lama dengan nilai baru tersebut. Studi pemikiran yang yang terbuka dan merujuk kepada semangat sejarah, pola berfikir dan pesan Islam sebagaiman sudah dipraktek pemikir Islam adalah khazanah bernilai untuk pemikir masa datang. 

Akhirnya dapat dikatakan bahwa studi pemikiran Islam yang dilakukan secara mendalam dan komperhensif diharapkan dapat memberikan modal keilmuan bagi calon sarjana Islam yang moderat, inklusif dan istiqamah. Pemikir dan sarjana Islam masa depan tidak boleh berdiri di menara gading keilmuan Islam an sich, akan tetapi ia harus mampu mendialogkan dan menerjemahkan khazanah keilmuan Islam dengan realitas social. Kedudukan strategis Pascasarjana IAIN Imam Bonjol di usia yang 20 ini semangkin diperlukan dan ditunggu umat. Selamat ulang tahun dan Dirgahayu Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang. Maju untuk pencerah dan penuntun umat. Ds.Kharisma Hotel Bkt.,311014. 

STUDI PEMIKIRAN ISLAM
BASIS KEILMUAN SCHOLAR ISLAM[1]
OLEH: DUSKI SAMAD[2]

[1] Refleksi Untuk Seminar 30 Tahun Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, Senen, 3 November 2014.
[2] Guru Besar Ilmu Tasawuf dan Dosen Studi Pemikiran Islam Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang. 
[3]Azyumardi Azra, UIN MARJINALISASI IAIN DAN FAKULTAS AGAMA? Pengantar Diskusi Pimpinan IAIN Imam Bonjol, Padang, 30 Desember 2011
[4] Ibid, h. 15.
[5] Harun Nasution, IPTEK berwawasan Moral dalam Perspektif Falsafah dan Pemikiran Islam, Makalah Seminar di IAIN, 8 Agustus 1996.
Agama Islam
Posting Komentar
komentar teratas
Terbaru dulu
Daftar Isi
Tautan berhasil disalin.